Tulus
Siang itu
mendung menyelimuti kota Jogja. Aku
bersama temanku sedang berada di salah satu rumah warga Jogja untuk
bersilaturahim dan melakukan tugas penelitian.
Kami masuk ke ruangan depan rumah tersebut setelah dipersilakan pemilik
rumah. Ruangan yang tidak begitu besar
dengan tikar warna-warni. Kami dapat mengetahui keseharian nyonya rumah itu
hanya dengan melihat sekarung bawang merah di ruang tamu mereka, sehari-harinya
pasti bekerja untuk mengupas bawang merah tersebut. Setelah duduk, kami mulai perkenalan dan
mulai wawancara dengan pemilik rumah.
Tiba di suatu
topik, aku cukup terkejut setelah ibu tersebut mengatakan bahwa anak sulungnya
pernah mengalami gangguan ginjal bertahun-tahun lalu. Ibu tersebut juga cerita betapa sulitnya
ketika saat itu belum ada BPJS karena saat beliau memeriksakan langsung ke RS X
di Jogja, yang mana setelah di periksa oleh dokter RS tersebut, anaknya perlu
dimondokkan dan diperiksa dengan rontgen di ginjal. Ibunya mengaku betapa mahalnya biaya
pengobatan saat itu. Tiba-tiba mata
beliau berkaca-kaca, “ Dulu mbak, anak saya dirawat oleh dr. A di RS tersebut.
Saya sangat berterima kasih pada beliau sewaktu kami memeriksakan kontrol
berulang kali dan rontgen ginjal yang harus disuntik itu (BNO-IVP), beberapa
kali beliau menyampaikan ‘Sudah bu, ini separuhnya buat beli dhaharan saja’ atau ‘Bu mboten mawon’,
saya sangat terharu mbak.” Ibu tersebut cerita bila beliau tidak mengeluarkan
biaya untuk BNO-IVP karena dokter tersebut yang membantu. Aku dan temanku
seketika diam.
Tetiba aku
teringat saat stase anak di RS Y di Jogja, Agustus tahun lalu. Seorang konsulen menceritakan sebuah kisah,
saat aku selesai refleksi kasus. Beliau, dr. D menceritakan salah seorang teman
sejawat beliau, orang yang baik. Ketika teman beliau ini meninggal, orang-orang
datang melayat, jumlahnya sangat banyak.
Sampai dr. D bercerita kalau beliau merinding, terharu. Beliau ingat betul bahwa temannya ini memang sangat baik,
dermawan, dan luar biasa. Waktu itu, aku
tidak tahu. Seberapa besar kebaikan
teman dr. D ini. Yang aku tahu, teman
beliau pastilah orang yang sangat baik, melalui cerita dr. D di akhir refleksi
kasus, dengan mata yang berkaca-kaca.
Hampir satu
tahun berlalu, akhirnya aku tahu. Mungkin tidak sepenuhnya tahu. Kebaikan yang dibicarakan itu baru saja
kudengar dari salah satu pasien dr.A, teman dari dr. D. Rasanya ada sesuatu yang membuncah di dada. Rasa
bangga, terharu, sedih, menjadi satu. Oke, berlebihan memang. Tapi bisa dibayangkan betapa berterima
kasihnya ibu responden ini pada dr. A, tanpa mengurangi rasa hormat, melihat
ibu ini memiliki ekonomi yang mohon maaf memang pas-pas an. Terima kasih yang
tulus. Aku melihatnya. Menurutku, terima kasih tulus itu hanya dari orang yang
menerima kebaikan yang tulus juga, dan itu bukan berlebihan kan?
Last but not least, bukan berarti
kebaikan hanya dinilai dari ekonomi. Bukan. Dari kisah itu, aku belajar untuk bisa
mengerti keadaan orang lain, menolong sesuai dengan tempat dan keadaan mereka
yang perlu ditolong. Dokter A menolong ibu tersebut dengan biaya. Keadaan yang lain bisa saja berbeda. Tapi yang
tidak kalah penting adalah belajar yang benar, kelak berguna bagi orang lain :’’)
Aku sedih
waktu mendengar cerita ibu tersebut karena belum sempat bertemu beliau saat Koas.
Pastilah beliau orang yang luar biasa. Terima kasih, Guru.
Pesan : untuk
siapapun yang akan jadi spesialis, semangatlah.
Untuk siapapun yang akan jadi dokter di struktural, semangatlah. Untuk siapapun
yang akan jadi apapun, semangatlah. Niatkan untuk Allah semata. Kukira itu yang
disebut tulus.
Yogyakarta, 26
Juni 2018/ 12 Syawal 1439 H
Komentar
Posting Komentar