Monday,
October 26, 2015
5:27 PM
Pukul 15.30 WIB
membuatku sedikit gelisah. Sampai jam
berapakah nanti di rumah? Mau melakukan apa saja di rumah dengan waktu yang
mepet maghrib? Ya seputar itulah pertanyaan sok penting yang muncul dalam
benakku. 15.35 WIB temanku se kamar di
kontrakan yang baru ku tempati tujuh bulan itu, belum keluar dari tempat
sholat. Aku membatin, " Ayolah
cepat keluar, mau menitipkan barang nih!"
aku agak kesal dan sebal karena dia lama sekali. Walaupun dalam dua menit kemudian dia muncul
dan malah balik menunjukkan wajah bertanyanya," Ngapain masih di sini?"(welah
sudah ditunggu malah kaya begitu). Aku
hanya melirik, dan bilang kalau mau menitipkan buku. Terjadilah diskusi tentang buku yang akan aku
kembalikan lewat dia, dan buku ku yang masih di kamar, serta aku minta tolong
untuk membawakan buku itu untukku besok.
Setelah diskusi singkat, kami pergi bersama menuju kantong parkir untuk
segera mengambil motor dan pulang.
Sewaktu berjalan menuju kantong, rasanya lambat sekali, seakan-akan
memang waktu mendukung ku dan dia (semacam romantic scene -,-
astagfirullahaladzim) yang memang sedang
mencari sarung tanganku yang hilang entah jatuh atau kemana. Alhasil, memang tidak ada di jalan ataupun di
sekitar motorku. Akhirnya kami pulang,
dia ke kontrakan, dan aku kembali ke rumah.
Singkat cerita,
sampailah di jalan daerah sebelum Pingit- yang ternyata-macet luar biasa. Namun, anehnya aku tidak seemosian biasanya,
yang biasanya aku langsung ngomel-ngomel sendiri dalam helm yang entah
terdengar dari luar atau tidak pun aku tidak tahu. Aku sedikit lebih sabar untuk menunggu
kemacetan, yang ternyata lagi disebabkan
oleh antrian bus pariwisata yang mau belok ke arah malioboro. Dua bus pun telah belok dengan susah payah,
ya bayangkan saja tubuh sebesar itu masuk jalan seukuran jalan Samas lebih
kecil lagi, mungkin saja bisa tapi dengan
kondisi lalu lintas sore hari? Ternyata oh ternyata, memang timbul
kemacetan, dari arah utara, timur, selatan, tapi untung barat tidak. Tetaplah macet menutup kebebasan akses,
mobil-mobil pun terlihat kasihan karena harus antri panjang. Waktu bus kedua lewat, aku menatap ke arah
jendela besar dimana banyak terlihat penumpangnya juga sedang memperhatikan
jalan. Kupasang muka dan mata serius supaya mereka sadar bahwa telah terjadi
macet ( seperti flashback dulu pernah pakai bus pariwisata dan timbul
macet). Biar lengkap, kuperagakan sedang
melihat jam tangan dan sok-sokan buru-buru pergi (maksudnya biar mereka sadar
supaya besok tidak seperti ini) yang
kukira bisa jadi tidak ada pengaruhnya sama sekali, lagi pula siapa peduli
dalam kemacetan yang telah menyita perhatian.
Akhirnya bisa lepas
dari macet, dan bisa memasuki kawasan Dongkelan, lalu masuk jalan Bantul yang
teduh dan nyaman, setelah itu sampai di perempatan Klodran ( seperti biasa,
ambil ke kiri lalu bersiap menyapa Masjid Agung Bantul dari sebelah kiri). Lumayan ngebut, wallaupun hanya 60 km/jam,
jalan Ringinharjo pun terlewati.
Tetibanya di Kadirojo, ups ada polisi yang baru saja menaiki mobilnya
dan masih ada satu motor patroli, yang bisa kutebak pasti tadi ada 'cegatan' atau tilang dalam bahasa
Indonesia-nya. Alhamdulillah sih sudah
selesai, coba masih ada, uuh pasti harus turun dari motor, dan segala rempong
pun terjadi, harus senyum atau ramah sama polisi yang jadi petugas tilang(
menurutku ini merepotkan *shikamaru style), walaupun aku membawa surat penting
STNK,SIM, KTP, tetap saja cegatan jadi momen menyebalkan, karena harus melihat
adek-adek SMA yang masih <17
merengek-rengek minta dilepas dari sanksi tidak lengkapnya surat-surat
berkendaraan.
Alasannya klasik sih, uang orang tua terbatas, apalagi harus
bayar 50 ribu, lalu orang-orang dewasa yang alasan ketinggalan atau baru di
perpanjang (sama juga aku dulu pernah ketilang). Bagiku, ada dilema tersendiri
menyikapi fakta tilang ini. Sebenarnya
kasihan pada mereka yang memang tidak bisa main antar jemput atau sekadar naik
bus untuk sampai ke sekolahnya, dikarenakan alasan ekonomi atau kesibukan orang
tua. Tapi di sisi lain, ketertiban itu
memang harus diluruskan, supaya generasi mendatang menjadi orang yang taat pada
aturan. Kenyataanya, sampai sekarang aku
belum menemukan adanya solusi bagi anak SMA yang belum berSIM ini, dari segi
dua dilema tadi. Setidaknya kesulitan
yang dialami anak SMA yang belum ber-SIM ini, mengajak pikiranku bergelut
sendiri memikirkan solusi yang ternyata belum ada.
Setelah berkutat
dengan nostalgia ketilang beberapa waktu lalu dan mencoba mencari solusi anak
SMA non SIM, selanjutnya aku menuju Sanden.
Sepanjang jalan, aku berpikir tentang kemacetan yang kualami tadi,
TERNYATA mengajakku untuk bersyukur bahwa aku tidak harus melalui proses tilang
oleh Polisi lalu lintas. TERNYATA ada hikmahnyaa. Alhamdulillah….
AKT
Komentar
Posting Komentar