Doa: Bertahan pada pilihan


Sabtu, 3 Desember 2016


Setiap orang akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang telah dilakukan maupun yang telah diucapkan.  Aku setuju.  Sepenuhnya setuju.
Teringat dulu, memutuskan untuk masuk ke sekolah menengah atas di Magelang adalah suatu hal yang sulit.  Alhasil, sekolah di sana memang hal yang begitu rumit.  Tidak perlu dijelaskan mengapa rasanya rumit.  Padahal yang dilakukan adalah bersekolah. Memang banyak hal yang tidak harus dijelaskan. Alhamdulillah, kerumitan-kerumitan itu bisa terlewati.  Hari demi hari, walaupun terasa berat dan yah, bisa dikatakan ‘rumit’ telah membuat jiwa terasa kosong.  Hari-hari itu, tawa adalah obat mujarab mengisi sebagian kekosongan itu.  Tapi, itulah hakikat tawa.  Semakin lama, semakin kau sadari bahwa tawa itu sendiri adalah sebuah kebohongan.  Tidak ada yang bisa menggantikan pengisi kekosongan hati yang hakiki kecuali doa.
Doa lah yang membuatku teringat pada kebesaran Allah.  Doa adalah teman sejatiku selama hati terasa kosong walaupun wajah terlihat bahagia.  Doa adalah senjata terakhirku menghadapi kerumitan hidup itu.  Dan dengan doa lah aku merasa bisa mendekat pada Allah walaupun hanya satu langkah.  Tentu saja aku tidak lupa pada doa-doa yang orang lain panjatkan juga pada Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.  Mereka yang selalu dengan tulus berdoa untuk keselamatan dan keberhasilanku, di setiap waktu.  Aku mungkin tidak tahu, atau mungkin memang tidak peka pada apa yang sudah orang lain doakan untukku.  Tapi, detik ini ada yang harus kubayar atas lupaku pada doa mereka di waktu yang lampau:” Terima Kasih, semoga begitu juga dengan anda”.
Saat ini aku tidak mengagungkan doa itu sendiri melainkan mengagungkan kepada siapa doa itu dimintakan.  Dia yang selalu dimintai terkabulnya doa-lah, yang membuatku bisa bertahan sampai detik ini, sampai baru menyadari betapa tidak tahu beruntungnya aku yang selalu mengeluh di atas penderitaan yang tidak seberapa dibanding kenikmatan yang begitu berlimpah.  Dia yang selalu di dekatku, walau aku tidak peduli, dan hanya peduli ketika merasa nyawaku terancam.  Dia yang selalu menjawab doa-doaku lewat takdir terbaik dari-Nya.  Dia yang ...begitu banyak hal baik sampai kau sendiri akan berpikir ‘Tuhan, mengapa Engkau begitu baik padaku yang banyak dosa ini?’. Aku yakin itu.
Kini tibalah masanya saat sebagian doaku yang dulu selalu kupanjatkan agar dikabulkan, yang selalu aku mintakan lewat doa-doa kecil yang bagi orang lain mungkin itu sangat mudah tapi bagiku itu berat.  Doa yang terjawab dengan begitu indahnya lewat takdir ini, meminta untuk dipertanggung jawabkan sekarang.  Kupikir pertanggung jawaban itu akan ada di akhir, akhir dari semua hidup ini.  Tapi mungkin Dia telah menyadarkanku untuk bangun dari mimpi kosong kehidupan ini, “Inilah Saat Pertanggung Jawabanmu”.  Dan ketika aku menyadari, banyak hal yang bahkan aku tidak paham mengapa aku bisa memilih apa-apa yang telah kupilih. Bodoh? Jelas.  Itu adalah kebodohan yang mutlak.  Tapi menyalahkan kebodohan diri tidak akan menjamin semua ini selesai.  Allah tidak akan memintai pertanggung jawaban bila manusia bodoh, tapi jelaslah bahwa manusia yang memiliki kemalasan.  Malas untuk lebih tahu, malas untuk berbuat kebaikan, malas untuk belajar, malas untuk berguna bagi orang lain, malas karena ingin bersantai-santai.  Kali ini, doa-doa yang dulu, meminta untuk dipertahankan atau dilepaskan.
Aku tidak pernah tahu berapa angka pasti betapa beruntungnya aku bisa hidup dengan merdeka dibanding ribuan manusia di luar sana yang sedang menderita atau setidaknya berapa ribu orang yang menginginkan ‘kehidupan kuliah’ seperti yang kudapatkan.  Tapi, rasanya tidak adil bila aku melepaskan doa-doa yang tertakdir itu, sekalipun menggenggamnya saja membuat hatiku sakit.  Benar-benar sakit.  Tapi, aku ingat  doa dan membutuhkan Dia lewat doa-doa baru.  Doa yang akan kusampaikan pada-Nya, bahwa aku sangat membutuhkan Dia.  Doa yang entah mengapa rasanya sakit setiap kali aku mengingatnya.  Sakit karena kupikir aku salah mengambil keputusan empat tahun yang lalu.  Atau kupikir aku salah telah hidup sebagai seseorang seperti aku.  tapi sekali lagi, kuingat bahwa yang tertakdir adalah jawaban dari Nya atas doa-doaku dan bukankah itu yang terbaik dari Nya?
AKT
TU: orang yg sedang berjuang mencapai cita-citanya

Komentar