Istimewa atau Tidak, Itu Urusan Hati (lanjutan)

Apa yang akan saya sampaikan sifatnya hanya pendapat. Bukan berdasarkan penelitian atau pembuktian ilmiah.


Ya hubungannya dengan hati. Yang mana logika tidak dapat berbicara dengan bebas di sini. Hati,  yang hampir selalu bersinggungan dengan niat.

Tentang Hati Part 2
Monday, July 25, 2016
9:30 AM
Setiap manusia memiliki motivasi atau bahasa manusianya adalah niatan yang berbeda. Itu lah penyebab terjadinya banyak pemandangan di ruang kelas, ah bukan kelas ini ruang pertemuan besar. Pembekalan. Bila saja semua orang sama, pastinya ruangan ini tidak ada berbagai 'pose' mengantuk atau ketiduran.
Berbicara tentang niat, saya jadi teringat awal masuk di Fakultas Kedokteran. Ketika itu, saya berniat menjadi dokter saja. Tidak ada impian muluk lain untuk bisa lebih wow atau memiliki sambilan selain menjadi dokter. Tidak terpikir pula bagaimana aspek 'lain' dalam kehidupan mendatang. Baru, suatu hal telah berhasil menuntun saya untuk sedikit membuka mata tentang apa yang dimaksud sebagai cita-cita. Alhasil, niatan saya di awal masuk kuliah dibandingkan sekarang, geser seratus delapan puluh derajat. Pengaruhnya? Bisa terlihat dari bagaimana menjalani kegiatan sehari-hari. Bukan berarti jadi lebih baik, atau menjadi luar biasa,  melainkan cara menempuhnya yang berbeda. Beda jalan, beda pula cara sampainya kan? Yang sebenarnya, bukanlah tujuan yang sangat berbeda dari cita-cita awal ketika memasuki kuliah. Melainkan, mempertajam perasaan untuk menyadari bahwa cita-cita awal masih terlalu dangkal. Visi yang kurang jelas. Sehingga yang perlu diluruskan dari setiap niat adalah bahwa cita-cita seharusnya disandarkan pada sesuatu yang sempurna, yang menguasai segala aspek kehidupan. Siapa? Allah, Tuhan Alam Semesta. Mengapa?

Ini kisah nyata. Mungkin, yang diceritakan di sini bukanlah satu-satunya yang pernah terjadi.
Pada awal tahun 2000-an, ada seorang anak SD yang sangat menginginkan untuk mendapat nilai UN tertinggi. Namun, ketika pengumuman UN hasilnya sangat mengecewakan. Dia yang biasanya juara kelas, berada di peringkat bawah dari hasil UN tersebut. Hal yang sama terulang lagi. Ketika dia menginginkan masuk SMA favoritnya, hasil UN berkata lain. Nilainya tidak lolos dalam pendaftaran. Perasaannya sangat kecewa. Bahkan sampai dirinya lulus SMA pun, masih sangat menyesalinya. Dirinya tidak menyadari, bahwa sebenarnya masalah itu berasal dari dirinya sendiri. Bukan hanya karena persiapan yang mungkin kurang matang, melainkan lupa bahwa segala sesuatu adalah Allah yang berkuasa. Sekuat apapun berusaha, kalau Allah tidak menghendaki, tidaklah mungkin terjadi. Namun, bukan berarti dalam setiap usaha seperti ingin mendapat nilai UN tertinggi dan cita-cita lain tidak perlu
diusahakan dengan susah payah. Usaha itu sangat penting dengan menyandarkan hasilnya pada Allah,serta berniat untuk beribadah kepada Allah. Kelak bila belum terwujud, masih kita syukuri sebagai sebuah ibadah, dan kita masih berkesempatan untuk beribadah lagi. Sehingga niat kita tidak akan luntur hanya karena belum dikabulkan oleh Allah Subhanahu Wata'ala. Namun, niat itu adalah dari hati. Sedangkan hati adalah sesuatu yang rapuh. Bukankah Rasulullah Salallahu 'Alaihi Wasallam berdoa "Ya muqolli bal quluub, tsabbit qolbi 'ala dinik " (Duhai Sang Pembolak-balik hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu)? Dan beliau menyampaikan bahwa hati manusia berada dalam kuasa Allah, barangsiapa dikehendaki baik maka baik. Kita tidak pernah tahu kapan hati kita akan berbalik dari yang baik ke buruk atau dari buruk ke baik. Oleh karena itu, niat perlu diperbaiki, perlu direnungkan, perlu dievaluasi setiap waktu. Supaya kita tidak lupa sejatinya hidup dan
sejatinya niat kita melakukan sesuatu itu sudah terkoreksi atau belum.


Akt

Komentar